Pengin Kuliah
Ada saatnya saya merasa bosan, bosan sekali kuliah. Maklumlah, aktivitas datang, duduk, diam, dengar (dan moga-moga nggak dapat nilai “d”) ini seakan menjadi rutinitas yang berulang-ulang tanpa akhir.
Memang sih kebosanan bisa menimpa siapa saja, kapan saja. Namun untuk saya, kadang-kadang kebosanan itu datang lebih cepat sehingga aktivitas lain, semisal berburu buku atau larut dalam aktivitas keorganisasian terasa lebih mengasyikkan. Indeks prestasi? Jangan tanya! Malu!
Namun, setiap kali saya bosan, saat itulah saya ingat teman SMU. Anwar namanya.
Anwar tinggal di rumah sederhana, di tepi jalan. Ayahnya bekerja di Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), bukan sebagai masinis, melainkan sebagai penjaga pintu lintasan kereta api dengan gaji minim.
Pekerjaan hariannya adalah ‘membunuh’ waktu dengan menunggu sirine pertanda kereta datang, lalu menutup pintu lintasan yang ada... setiap hari... tanpa libur. Sementara itu, ibunya berjualan jemblem, yaitu makanan tradisional dari singkong yang ditumbuk halus, diberi gula merah, lalu digoreng.
Tidak ada yang istimewa pada diri teman saya ini kecuali... kegigihannya. Setiap hari, dia harus naik bus sekolah. Mungkin naik bus bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa bagi kita. Namun, bagi Anwar, naik bus berarti harus rela sarapan tanpa lauk alias nasi doang. Seandainya dia makan pakai lauk, tidak ada uang untuk naik bus. Sempat pakai lauk pun, paling banter kerupuk dan kecap.
Naik sepeda ke sekolah? Sering. Padahal, jarak antara rumah dan sekolah kira-kira 20 kilometer. Jadi, pulang pergi sekitar 40 kilometer. Namun, itu semua tidak menyurutkan langkahnya untuk tetap bersekolah, mencari ilmu.
“Aku akan kuliah ke universitas!” katanya mantap, menjelang kelulusan SMU. Tergambar jelas pada wajahnya, sebuah semangat yang saya sendiri mungkin tidak pernah memilikinya. “Semoga sukses,Kawan!” begitulah saya berharap dan kami pun berpisah.
Sekian lama saya tidak bertemu dengannya. Saya jarang pulang. Saya pulang kalau kondisi benar-benar mendesak. Itu pun cuma sehari dua hari.
Suatu ketika, secara kebetulan, saya bertemu Anwar yang sedang mengayuh sepeda pancal berjualan tahu keliling. Kami ngobrol cukup lama. Dia mengaku tidak kuliah. Selepas SMA, saat ingin kuliah, ternyata orang tuanya tidak sanggup membiayai. Jadi, dia bekerja dulu. Siapa tahu, dia bisa ikut UMPTN di tahun kedua.
Ternyata, menjelang UMPTN tahun kedua pun keadaan tetap tidak berubah. Uang yang ia kumpulkan dari berjualan tahu tidak mencukupi. Akhirnya, UMPTN pun kembali berlalu tanpa keiikutsertaannya. Sekali lagi, dia gagal.
Dari sinilah akhirnya dia “banting setir” jadi kernet / kenek truk. Dengan satu tekad bulat, kesempatannya hanya tinggal sekali lagi ikut UMPTN kalau ingin kuliah tahun depan. Jadi apa pun caranya, dia harus mengumpulkan uang dan ikut seleksi... atau gagal lagi. Itu artinya nggak bisa kuliah, selamanya. Boro-boro mau kuliah di swasta, di negeri saja belum mampu...
Ternyata jadi kenek truk bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Dunianya keras. Bahasa-bahasanya kasar, bahkan umpatan pun jadi makanan harian. Jangan bayangkan kenek hanya sekedar duduk-duduk menemani sopir, tidur lelap seenaknya, dan santai-santai saja.
Pekerjaan kenek di antaranya adalah angkat-angkat barang, mulai dari yang ringan tanpa nyawa sampai yang berat dan bernyawa jadi jatah harian, mulai dari angkat-angkat beras, gula, jagung, TV, kulkas, AC, sampai yang paling sulit... ngangkut sapi, semua dijalaninya. Tidak cukup sampai di situ, mencuci bak truk juga menjadi tanggung jawabnya. Kerap kali, dia melakukan pekerjaan tersebut sambil menahan napas karena bau kotoran sapi yang memenuhi bak.
Tidur? Tidak jarang pula dia terlelap di bawah bak truk sambil beralaskan koran atau kardus. Pernah pula, dia baru bangun saat air mengalir ketika hujan turun tanpa sepengetahuannya. Bingung? Jelas!
Hal yang tidak mungkin dilupakannya adalah saat dirampok oleh sekelompok orang. Dia dan sang sopir tidak berkutik. Jumlah perampok terlalu banyak. Saat ingin melawan, dia dihajar habis-habisan.”Mau jadi pahlawan, ya?” seru sang perampok sambil menginjak-injak kepalanya di atas aspal jalan yang kasar.
Dalam keadaan tangan terborgol, kepala dan dada memar-memar bekas pukulan, dia hanya bisa diam, tidak berbuat apa-apa lagi. Hanya dalam hati, dia memohon, Ya Allah, aku tidak mau mati sekarang, shalatku masih bolong-bolong.
***
Setahun berlalu. Kali ini, Anwar bisa mengikuti SPMB. Uang yang dikumpulkannya dari hasil jadi kenek sudah cukup untuk membayar biaya pembelian formulir SPMB. Tercapailah sudah impiannya. Kembali dia merajut optimisme bakal melanjutkan pendidikannya. Terlalu sayang apabila otaknya yang lumayan cerdas hanya diistirahatkan saja.
Akhirnya, pengumuman pun tiba, detik-detik yang mendebarkan untuk dilewati. Perjuangannya selama ini ditentukan di sini. Dia memburu koran terpagi hari itu. Setelah mencari nomor ujiannya, dia telusuri bait-bait koran yang ada. Lho...? Namanya tidak ada. Sekali lagi dicarinya dengan lebih teliti lagi. Sekali lagi... dan lagi... dan... ternyata memang tidak ada.
Namanya tidak ada di koran hari ini. Dia tidak diterima. Dia tidak lolos SPMB. Dia tidak bisa kuliah. Ingin rasanya dia tersadar bahwa ini hanya mimpi. Namun, tidak ada bukti kalau ini cuma mimpi. Dia gagal lagi.
Kini, Anwar kembali ke dunianya. Dia kembali bekerja. Namun, saya masih tetap kagum, sekaligus malu, pada semangatnya. Sungguh! Saya malu ketika IP jeblok hanya dengan alasan banyak aktivitas atau dengan alasan “aktivis kan lebih suka berlama-lama di kampus...”
Saya malu ketika Allah menganugerahi kesempatan untuk bisa kuliah, menempuh pendidikan lebih tinggi, tapi saya tidak pernah mempunyai semangat seperti dia, teman saya yang “malah” tidak sempat merasakan enaknya bangku kuliah. Bahkan, untuk mencapai bangku kuliah saja, dia harus berjuang sekuat tenaga dan menunggu sekian lama. Perjuangan saya tidak ada apa-apanya. Kadang-kadang, saya teringat kembali Anwar dan tekad besarnya...
“Mungkin aku tidak ditakdirkan untuk bisa kuliah, tapi aku yakin Allah Mahaadil dan Dia akan selalu mengabulkan doa-doa kita walaupun tidak selalu di dunia...”
Anda yakin bisa setegar dia?
***
Membaca kembali cerita-cerita unik dari ‘Biarkan Cinta Menyapa’nya mas Dadang dan menemukan tulisan ini. Semoga bisa mengembalikan semangat yang sepertinya sedikit luntur ^^
wah wah wah wah smoga anwar bisa mendapatkan nasib yang lebih baik nanti, toh belum tentu juga yang telah berkuliah punya nasib yang lebih baik nantinya, smoga Allah tetap memberi rezki bagi anwar :D
BalasHapusamin...
BalasHapusini juga cerita uda jaman dahulu kala. sekarang entah anwar uda jadi apa. tapi ini anwar siapa jg g tau... hehe..